Aku sudah lama sendiri di sini, di sudut lapangan berdebu disebuah desa. Dulu anak-anak kecil senang bermain disekitarku, tapi sejak aku dicurigai menjadi sarang para hantu dan setan dan anak-anak itu ditakut-takuti oleh ayah ibunya jika sedang nakal, aku menjadi sendiri disini. Penduduk kampung juga seperti membenciku tapi segan menebangku karena takut kalau para setan yang “bersarang” disini marah. Penduduk yang aneh.
Kalian pasti terkejut bagaimana sebuah pohon beringin bisa bicara. Tapi kalau boleh aku ungkap, sebenarnya kami para tanaman bisa bicara. Betul itu, aku tak bohong. Tapi mungkin kalian manusia butuh sesuatu untuk mendengarkan. Butuh hati yang tulus.
***
Sejak sedari 3 hari ini, seorang pemuda sering datang. Berperawakan Kurus, tinggi, dengan kulit yang kecoklatan dan seperti kurang terawat. Wajahnya kusut. Tatapannya lebih sering menerawang jauh. Kosong. Mungkin itu biasa, yang paling membuatku heran adalah letupan-letupan api amarahnya. Ini tak seperti biasa, cenderung berlebih. Kadang memancar panas yang kuat, kadang hilang begitu saja. Tapi lebih banyak memancar kuat.
Hari ini dia cuma duduk menyender pada tubuhku, api dalam tubuhnya juga hilang. Wajahna terlihat letih. Ia cuma memandang kejauhan, seperti mengharap sesuatu akan datang. Tangannya lebih sibuk melempar-lempar batu kecil yang ada disekitarnya. Kemarin-kemarin ia tidak begini, kadang ia memukulku hingga kelelahan dan jari-jarinya berdarah. Kadang ia hanya mondar mandir di depanku sembari menendang-nendang tanah. Kadang ia diam berlutut, dan membenamkan kepalanya. Bahkan sempat ia menggigil seperti kedinginan, menggenggam jemarinya erat seperti menahan rasa sakit dari dalam dirinya.
Tapi ia tak pernah bicara, berteriak bahkan berbisik sekalipun. Ia hanya diam.
Aku juga cuma bisa diam. Jika saja dia bisa mengerti apa yang kubicarakan, mungkin kita bisa…yaah, istilah manusia-nya….curhat.
“Kamu bisa mendengarku kan?” tanyanya lirih tanpa menatapku. “Awalnya aku pikir ini hanya perasaanku saja yang bicara. Tapi, akhir-akhir ini semakin terasa“. Aku cukup terkejut. Belum pernah ada yg bisa berbicara padaku. “Ya nak, aku mendengarmu“, sahutku.
Ia kembali diam.
“Kamu baik-baik saja?“. Rasanya pertanyaanku aneh, tapi aku juga bingung mau bertanya apa. Ia juga hanya diam, melempar sebuah batu kecil jauh-jauh. “Kalau aku jawab ya berarti aku bohong, tapi kalau aku jawab tidak, saat ini aku masih hidup. Menurutmu?“. Ternyata pertanyaan sependek itu butuh jawaban yang panjang dan lagi malah bertanya balik. Menyebalkan!.
“Kamu kenapa nak? Kenapa marah seperti itu?“.
Ia berdiri, berjalan memutariku, lalu berhenti dan berdiri membelakangiku menghadap matahari terbenam.
“Darimana kamu tahu?”
“Yah, nenek-nenek sariawan juga tahu kalau kamu lagi marah“.
Ia menatapku sekilas, tersenyum tipis.
“Kamu tahu rasanya dicampakkan?” tanyanya.
“Hmmm…mungkin pernah. Dulu anak-anak kecil banyak bermain disini. Menghibur untuk pohon beringin setua seperti diriku melihat anak-anak bermain dan tertawa. Tapi kemudian beredar kabar kalau aku adalah sarang hantu dan setan. Sejak saat itu mereka tak pernah bermain disini lagi. Aku merasa tercampakkan.”
“Kamu mengalaminya?” tanyaku.
Ia diam. Api dalam tubuhna membesar lagi. Wow!. Dan buatku itu artinya ya.
“Tak baik menyimpan amarah. Maafkanlah nak.”
“Maaf? Emang lebih gampang ngomong!. Kamu pikir setelah bicara maaf lalu semua bisa selesai dengan baik seakan-akan gak terjadi apa-apa? Bagaimana dengan perasaanku?. Bagaimana dengan lukaku?.”
Api ditubuhnya semakin membesar. Aku jadi bertanya-tanya siapa yang mencampakkannya sampai seperti ini? Dan bagaimana sampai amarahnya tak tertahan seperti ini.
“Lalu maumu apa nak kalau meminta maaf tidak menyelesaikan masalah?. Mungkin lukamu bukan karena tercampakkan, tapi mungkin ia menusuk tepat di egomu.”
Ia terdiam, menunduk dan menutup wajah dengan tangannya. Ia seperti menahan sesuatu yang amat sangat sakit. Api dalam tubuhnya masih menyala-nyala besar.
“Kamu bisa memilih untuk diam disini dan membiarkan api itu membakarmu. Atau kamu bangkit, menegakkan dagu dan menghadapi ketercampakkanmu itu. Dicampakkan bukan berarti kalah nak. Kalah hanya jika kamu diam dan membiarkan dirimu terbakar. Kamu boleh bersedih, tapi tak boleh larut“.
“Nak, Tuhan menganugerahkan manusia 3 hal. Keberanian, untuk menerima tantangan, menghadapi semua resikonya. Ketabahan, untuk tetap tegak berdiri ketika semua hal buruk datang mendera dan Kebijaksanaan untuk memilih apakah tetap berani mencoba tantangan atau berhenti dan tabah menerima hasil bahwa telah gagal untuk kemudian mencoba tantangan yang lain“.
Aku diam. Ia juga hanya diam.
“Bersikaplah bijak“.
Ia melepaskan tangan dari wajahnya. Kulihat matanya berkaca-kaca. Bagus nak, biarkan mengalir. Itu akan membuatmu lebih kuat.
“Ah!, sok bijak!“, teriaknya.
Sinis sekali. Ia meninggalkanku pergi tanpa sekalipun menolehku. Walaupun ada nada marah disuaranya, tapi tak tampak api lagi di tubuhnya. Kuharap apa yang aku katakan membuatnya tersadar.
Manusia…manusia penuh dengan ego membuatnya jadi begitu rumit.
***
Esok hari. Ia hanya diam diujung lapangan itu. Wajah diamnya memandangku.
“Kamu mau kemana?” tanyaku.
Ia diam, menunduk dan menarik tas ranselnya. Lalu berbalik dan pergi. Masih ada letupan-letupan api kecil di tubuhnya.
“Pergilah nak, berjalanlah sejauh yang kamu bisa. Padamkan apimu sebelum ia membakarmu dan cari jawaban atas apa maumu“.
Tuesday, May 31, 2011
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment
Untuk Inovasi dan Kreativitas Penulis. Karena Pembaca yang bijak selalu Meninggalkan Pesan Perubahan dan Perbaikan Penulis. Diisi ya..^^